Kamis, 23 Mei 2024

IJTI : Draf Revisi UU 32/2002 Mengancam Kebebasan Pers

M Harizal - Sabtu, 11 Mei 2024 00:06 WIB
IJTI :  Draf Revisi UU 32/2002  Mengancam Kebebasan Pers
Herik Kurniawan, Ketua Umum IJTI. (Foto : Istimewa)

Kitakini.news - Revisi Undang-Undang No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran berpotensi besar mengkebiri kebebasan Pers. Menurut Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), beberapa pasal dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tersebut multi tafsir dan indikasinya mengarah pada pembungkaman kebebasan Pers.

Baca Juga:

"Berdasarkankajian IJTI, revisi UU Penyiaran terkesan disusun secara tidak cermat dan dalam penyusunan draftersebut, tidak melibatkan organisasi profesi jurnalis atau komunitas perspers," ujar kata Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan melalui keterangan resminya, Sabtu (11/5/2024).

Misalkan, Sambung Herik, pada Pasal 50 B ayat 2 huruf c yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi. IJTI memandang pasal tersebut telah menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan, pertanyaan besarnya mengapa RUU ini melarang televisi menayangkan secara eksklusif karya jurnalsitik investigasi. Selama karya tersebut memegang teguh kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional dan semata-mata untuk kepentingan publik maka tidak boleh ada yang melarang karya jurnalistik investigas disiarkan di televisi.

Disampaikan Herik, secara subtansi pasal pelarangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi di televisi bisa diartikan sebagai upaya intervensi dan pembungkaman terhadap kemerdekaan pers di tanah air. Upaya ini tentu sebagai suatu ancaman serius bagi kehidupan pers yang tengah dibangun bersama dengan penuh rasa tanggung jawab.

"Tidak hanya itu, dikhawatirkan revisi RUU Penyiaran akan menjadi alat kekuasan serta politik oleh pihak tertentu untuk mengkebiri kerja-kerja jurnalistik yang profesional dan berkualitas," sambung Herik.

Pada Pasal 50 B ayat 2 huruf k, juga ada unsur pengekangan kebebasan Pers dimana ada narasi terkait penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. Pasal ini sangat multi tafsir terlebih yeng menyangkut penghinaan dan pencemaran nama baik.

Karena itu, IJTI memandang pasal yang multi tafsir dan membingungkan berpotensi menjadi alat kekuasan untuk membungkam dan mengkriminalisasikan jurnalis/pers.

Kita sepakat bahwa sistem tata negara menggunakan demokrasi, dan pers merupakan pilar keempat dari demokrasi. Pers memiliki tanggung jawab sebagai control sosial agar proses bernegara berjalan transparan, akuntable dan sepenuhnya memenuhi hak-hak publik.

Selanjutnya, Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat 2 yang menyebutkan penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal ini harus dikaji ulang karena bersinggungan dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengamanatkan penyeleseaian sengketa jurnalistik dilakukan di Dewan Pers.

IJTI juga memandang bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik penyiaran di KPI berpotensi mengintervensi kerja-kerja jurnalistik yang profesional, mengingat KPI merupakan lembaga yang dibentuk melalui keputusan politik di DPR.

Sesuai dengan UU Pers telah jelas bahwa komunitas pers mendapat mandat untuk membuat regulasi sendiri dalam rangka mengatur kehidupan pers yang sehat, profesional dan berkualitas melalui selft regulation.

Oleh karena itu setiap sengketa yang berkaitan dengan karya jurnalistik baik penyiaran, cetak, digital (online) hanya bisa diselesaikan di Dewan Pers. Langkah ini guna memastikan bahwa kerja-kerja jurnalistik yang profesional, berkualitas dan bertanggungjawab bisa berlangsung independent serta tidak ada intervensi dari pihak manapun.

Menyikapi hal tersebut, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyatakan sikap sebagai berikut:

Menolak dan meminta agar sejumlah pasal dalam draf revisi RUU Penyiaran yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers dicabut.

Meminta DPR mengkaji kembali dengan cermat draf revisi RUU Penyiaran dengan melibatkan semua pihak termasukborganisasi jurnalis serta publik.

"IJTI juga meminta kepada semua pihak untuk mengawal revisi RUU Penyiaran agar tidak menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan pers serta kreativitas individu di berbagai platform," pungkas Ketua Umum IJTI tersebut.

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Redaksi
SHARE:
Tags
Berita Terkait
Komentar
Berita Terbaru