Dampak Infobesity Pada Pemilih Pemula
kitakini.news -Generasi Millenial dan Gen-Z bisa dikatakan sebagai pemilih terbanyak pada tahun 2024. Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU) dalam keterangan resminya, sebanyak 52 persen pemilih berasal dari kaum muda pada 2024.
Baca Juga:
Pemilih muda ini akan menjadi bahan rebutan para peserta pemilu. Beragam isu akan tersaji guna memikat para pemilih muda. Isu-isu yang menjadi pilihan, biasanya sarat dengan keterkaitan calon kepada sang pemilih.
Keterkaitan ini lebih meluas, tidak
hanya masalah, isu-isu korupsi, kemiskinan, kesejahteraan dan kompetensi. Akan
tetapi, keterkaitan yang juga kepada keberpihakan, kesetaraan calon dalam
melihat olahraga, games, fashion, gaya hidup apapun yang berbau dengan
kekinian.
Pemilih millenial dan Gen-Z pada
akhirnya akan melakukan re-distribusi informasi pada kalangannya sendiri. Banjirnya
arus informasi saat ini, diyakini memudahkan pemilih muda dalam mendapatkan
referensi memilihnya. Akan tetapi, banjir tersebut akan memunculkan infobesity
- ledakan informasi.
Infobesityatauinformation
obesity(obesitas informasi) adalah kondisi ketika seseorang dihadapkan
pada banyaknya pilihan informasi yang berdampak pada proses pengambilan
keputusannya, (Tempo, Agustus 2023).
Maka fungsi identifikasi, verifikasi
yang menjadi ranah literasi digital maupun konvensional harus ditingkatkan. Di
tengah arus yang begitu deras, esensi informasi harus berbasis data dan fakta.
Demokrasi yang sehat memiliki
pra-syarat ketersediaan informasi publik
yang transparan dan akuntabel. Saat ini, kita disajikan dalam sebuah drama politik
dengan berbagai narasi dari sudut pandang yang berbeda.
Drama itu terkemas rapi pada
berbagai konten sesuai selera pembuat agenda setting. Konten-konten itu
berseliweran pada medsos dan platform medianya anak-anak muda.
Akurasi, ketepatan, keteraturan,
berimbang, tidak lagi menjadi indikator penyedia informasi. Kita sudah masif
melahap informasi yang cenderung subjektif.
Sehingga, ujung dari masalah ini,
seseorang dapat mengalami fanatisme buta, hanya karena satu informasi yang ia
percaya.
Guru saya, romo Franz Magnis-Suseno
(1986) di dalam bukunya, pernah menukil kisah Syndrome Tikus lemming. Jenis
hewan pengerat yang berasal dari negara Skandinavia utara dan Skotlandia. Lemming
ini, hidup soliter, bergerombol pada dataran tinggi. Akan tetapi ada satu
waktu, rombongan tikus ini bergerak bersama-sama ke suatu arah.
Oleh karena jumlahnya yang begitu
banyak, tidak ada yang mampu menghentikan pergerakan tikus ini. Semuanya
bergerak secara serentak, secara sadar berjalan terus hingga ke tepi suatu
jurang di dataran tinggi.
Di sana, mereka akan terus berjalan
hingga jatuh bersama-sama ke dasar laut di bawah jurang itu. Semua tiada
tersisa hingga lemming terakhir.
Pola migrasi lemming ini yang sebagian orang mengatakan bunuh diri massal ini, dapat dikatakan hampir sama dengan generasi sekarang.Kita bergerak bersama-sama, serentak, dengan seluruh kesibukan masing-masing, ke satu arah, yaitu jurang, untuk kemudian binasa bersama-sama.
Kendati akan ada lemming yang
selamat, oleh karena, ia berhasil berenang atau diselamatkan oleh ayahnya, tetap saja mayoritas tikus itu binasa.
Binasa karena dis-informasi,
kebenaran semu, fanatisme buta dan kekacauan. Keadaan ini kemudian diperparah
dengan perwakilan anak muda yang maju pada kontestasi pemilu akan datang.
Anak-anak muda yang sebagian besar
mendapatkan kemudahan aksesibilitas dalam politik. Tanpa proses, latihan,
penggembelengan dan lainnya. Pada akhirnya menciptakan pemimpin kualitas salon.
Bila praktik-praktik penyelewengan
masa lampau, tetap dilakukan oleh anak muda yang ikut berkontestasi pada pemilu
ini, maka bangsa ini akan semakin surut ke belakang.
Adanya pemilih dengan 'klaim kebenaran' tunggal dan pemimpin muda manipulatif dengan segala ilusi yang ada padanya.Fenomena ini, harus segera disadari seluruh komponen bangsa, untuk menghindari kekacauan yang lebih besar.
Penulis: Fatah Baginda Gorby Siregar (Mantan jurnalis, akademisi, Tenaga Ahli DPRD Sumut)