Konflik Thailand–Kamboja Warisan Kolonial
Kitakini.news - Konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja kembali mencuat ke permukaan setelah insiden baku tembak terbaru yang terjadi pada 28 Mei 2025. Seorang tentara Kamboja dilaporkan tewas dalam bentrokan yang terjadi di kawasan sengketa antara Provinsi Preah Vihear di Kamboja dan Provinsi Ubon Ratchathani di Thailand. Kedua negara kembali saling menuding sebagai pihak yang memicu insiden bersenjata tersebut.
Baca Juga:
Meskipun situasi dikabarkan sudah berangsur stabil, ketegangan masih terasa di lapangan. Pasukan dari kedua negara tetap siaga di sepanjang garis batas, dan hanya upaya diplomasi yang tampaknya bisa mencegah krisis ini berkembang menjadi konflik yang lebih luas. Pemerintah Thailand dan Kamboja telah sepakat untuk duduk bersama dalam pertemuan yang dijadwalkan pada 14 Juni 2025 guna mencari solusi damai. Kamboja pun menyatakan kesiapannya untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional (ICJ) jika dialog bilateral tak membuahkan hasil yang konkret. Tetapi pada kenyataannya, hingga saat ini, perang di daerah perbatasan tersebut masih berlanjut.
Namun insiden ini bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Konflik antara Thailand dan Kamboja adalah luka lama yang belum sembuh. Perseteruan dua negara bertetangga ini berakar dari sejarah kolonial yang kompleks. Sengketa bermula pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1907, saat Kamboja masih menjadi bagian dari koloni Prancis. Saat itu, Prancis menetapkan batas wilayah yang mencakup kawasan perbatasan sepanjang 817 kilometer antara Thailand dan Kamboja. Namun setelah kolonialisme berakhir, kedua negara memiliki interpretasi berbeda atas batas wilayah tersebut.
Kuil Preah Vihear menjadi simbol dari konflik berkepanjangan ini. Kuil Hindu yang dibangun sejak abad ke-11 di atas tebing terjal itu telah lama menjadi sumber ketegangan antara kedua negara. Pada tahun 1962, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Kuil Preah Vihear secara sah berada di wilayah Kamboja. Namun hingga kini, Thailand masih mengklaim area sekitarnya sebagai wilayah kedaulatannya. Di mata masyarakat kedua negara, kuil ini bukan hanya situs budaya, tetapi juga simbol kebanggaan nasional dan kedaulatan yang tak boleh dikompromikan.
Faktor lain yang turut menyulut dan memperpanjang konflik antara Thailand dan Kamboja antara lain adalah perbedaan penafsiran atas peta warisan kolonial Prancis dan peta nasional Thailand, serta ketegangan yang kadang digunakan oleh elite politik domestik untuk mengalihkan perhatian publik dari persoalan internal masing-masing negara. Tidak jarang isu sengketa ini dijadikan alat konsolidasi nasionalisme dalam negeri, yang akhirnya memperkeruh upaya diplomasi.
Insiden terbaru di bulan Mei 2025 ini pun tidak hanya membawa korban jiwa, tetapi juga menyisakan kekhawatiran bahwa konflik perbatasan ini bisa kembali menjadi bara dalam sekam yang membakar kawasan. Meski belum ada tanda-tanda eskalasi besar, berbagai kalangan menyerukan agar Thailand dan Kamboja menunjukkan komitmen nyata terhadap dialog damai, termasuk memanfaatkan peran ASEAN sebagai mediator regional.
Konflik ini mencerminkan betapa kompleksnya warisan sejarah kolonial di Asia Tenggara, di mana batas-batas wilayah yang ditarik seabad lalu terus menimbulkan gesekan hingga kini. Dalam konteks ini, penyelesaian damai tidak hanya membutuhkan kemauan politik, tetapi juga keberanian untuk mengakui sejarah dan kepentingan bersama sebagai bangsa serumpun yang berbagi masa lalu dan masa depan.
Turis Israel Mesum di Air Terjun, Polisi Thailand Turun Tangan
Bahlil Ajak Generasi Muda Islam Jadikan Masjid Sebagai Pusat Pendidikan dan Perekonomian
Sebanyak 110 WNI Melarikan Diri dari Perusahaan Judi Online di Kamboja, Minta Bantuan Presiden
Ringgit Menguat, Pelancong Malaysia Sasar Indonesia
Dukung Puan Maharani, Repdem Sumut Desak Pemerintah Perkuat Perlindungan Pekerja Migran di Luar Negeri