Tanah Eks HGU Masuk Kategori Tanah Terlantar?

Dalam kasus semacam
ini, pertanyaan yang harus dijawab adalah sudah berapa lama warga sudah
menempati tanah terlantar tersebut? Ini menjadi dasar untuk menentukan
keabsahan menempati tanah, dengan kata lain apakah mereka memenuhi syarat
sebagai pemegang hak atas tanah berdasarkan UUPA, PP No. 24 Tahun 1997, dan
peraturan teknis yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional.
Baca Juga:
Tanah eks-HGU bukan
satu-satunya yang dapat dikualifikasi sebagai tanah terlantar. Pasal 7 PP No.
20 Tahun 2021, hak milik pun dapat menjadi objek penertiban tanah terlantar.
Demikian pula terhadap tanah dengan status hak guna bangunan (HGB), hak pakai,
hak pengelolaan, dan tanah berdasarkan Dasar Penguasaan Tanah.
Tanah hak milik bisa
menjadi objek penertiban tanah terlantar apabila ada kesengajaan tidak
mempergunakan, tidak memanfaatkan, dan/atau tidak memeliharanya, sehingga (a)
dikuasai oleh masyarakat serta menjadi wilayah perkampungan; (b) dikuasai oleh
pihak lain secara terus menerus selama 20 tahun tanpa ada hubungan hukum dengan
pemegang hak; atau (c) fungsi sosial hak atas tanah tidak terpenuhi, baik
pemegang hak masih ada maupun sudah tidak ada.
Tanah HGB, hak pakai,
dan hak pengelolaan menjadi objek penertiban tanah terlantar apabila secara
sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau
tidak dipelihara terhitung mulai dua tahun sejak diterbitkannya hak. Adapun,
HGU menjadi objek penertiban tanah terlantar apabila dua tahun sejak terbitnya
hak tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan/atau tidak dimanfaatkan.
Sebelum penetapan,
Kantor Pertanahan setempat terlebih dahulu melakukan inventarisasi tanah
terindikasi terlantar. Inventarisasi dilaksanakan paling cepat dua tahun sejak
terbitnya Hak Atas Tanah, Hak Pengelolaan, atau Dasar Penguasaan Tanah.
Inventarisasi dapat dilaksanakan berdasarkan dua arah: internal dan eksternal.
Internal artinya berasal dari hasil pemantauan dan evaluasi Kantor Pertanahan,
Kanwil atau Kementerian. Eksternal berarti laporannya berasal dari luar Kantor
Pertanahan, misalnya dari lembaga negara lainnya, pemda, masyarakat, atau dari
pemegang hak. Setelah dilampiri data tekstual dan data spasial, tanah hasil
inventarisasi itu diproses menjadi data tanah terindikasi terlantar.
Setelah inventarisasi,
tahapan selanjutnya adalah evaluasi, peringatan, dan penetapan. Evaluasi
kawasan terlantar dimaksudkan untuk memastikan apakah pemegang hak
mengusahakan, mempergunakan dan/atau memanfaatkan kawasan yang dikuasai.
Evaluasi itu setidaknya berisi pemeriksaan dokumen legal; pemeriksaan terhadap
rencana pengusahaan, penggunaan, dan/atau pemanfaatan kawasan; pemeriksaan apa
yang sudah diusahakan, gunakan dan manfaatkan; dan pemberitahuan kepada
pemegang hak untuk mengusahakan, gunakan dan manfaatkan kawasan yang telah
dikuasai. Evaluasi memakan waktu 180 hari.
Apabila semua tahapan
sudah dipenuhi, maka Menteri menetapkan tanah terlantar berdasarkan usulan.
Penetapan tanah terlantar sangat mungkin mendapat perlawanan dari pemegang hak
melalui sengketa ke PTUN. Pada bagian berikut diuraikan beberapa contoh kaidah
hukum dalam sengketa mengenai penetapan atau penggunaan tanah terlantar.
Beberapa Kaidah
Putusan
Pemerintah berhak
menetapkan suatu hak atas tanah menjadi tanah terlantar. PP No. 11 Tahun 2010
juncto Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah
Terlantar. Kepala Kantor Wilayah menyiapkan data tanah yang terindikasi
terlantar. Data ini menjadi dasar dilakukannya identifikasi dan penelitian.
Jika sudah ditemukan,
maka bidang tanah ditetapkan sebagai tanah terlantar. Misalnya, suatu tanah
yang tidak dikelola sejak 1966 akibat ditinggalkan sehubungan peristiwa G.30.S
dikualifikasi sebagai tanah terlantar. Upaya hukum yang ditempuh untuk
mempersoalkan status tanah terlantar itu kandas di pengadilan. Karena ditelantarkan
sejak 1966 maka tanah itu berstatus tanah negara (putusan MA No. 268
PK/Pdt/2017 tanggal 11 Juli 2017).
1.
Luas
Tanah yang Dimanfaatkan
Frasa 'tidak
diusahakan, tidak dipergunakan, dan/atau tidak dimanfaatkan' menjadi kunci yang
dinilai ketika ada penertiban dan sengketa mengenai penetapan tanah terlantar
di PTUN. Sebagai contoh adalah putusan Mahkamah Agung No. 286 K/TUN/2014
tanggal 12 Agustus 2014. Dalam putusan ini, hakim melihat luas tanah yang
diusahakan oleh pemilik hak dibandingkan luas tanah yang diberikan hak.
Mahkamah Agung telah
mengabulkan permohonan kasasi BPN Pusat dan Kanwil BPN Jawa Timur, dan
membatalkan putusan judex facti. Alasannya, antara lain, dari 44 HGB yang
diterbitkan kepada penggugat oleh BPN antara 1996-2004, hanya 1 hektar dari
sekitar 152 hektar yang dimanfaatkan.
Hakim
mempertimbangkan: "tidaklah dapat diartikan bahwa tanah tersebut telah
dimanfaatkan secara wajar", sehingga sangat beralasan Tergugat I dan Tergugat
II menerbitkan objek sengketa karena "termohon kasasi telah menelantarkan tanah
yang diberikan HGB kepadanya".
2.
Penetapan
Tanah Terlantar Harus Sesuai Prosedur
Pemerintah tidak dapat
melakukan penertiban tanah terlantar secara melanggar prosedur yang sudah
ditetapkan (Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010). Apabila sesuai prosedur,
maka penetapan status tanah terlantar dapat dibenarkan secara hukum.
Sebaliknya, apabila tidak memenuhi prosedur, maka keputusan tata usaha negara
berisi penetapan tanah terlantar itu dapat dibatalkan.
Dalam putusan Mahkamah
Agung No. 138 PK/TUN/2014 tanggal 14 April 2015, majelis menolak permohonan PK
yang diajukan Kantor Pertanahan Kota Cilegon. Sebelumnya, pengadilan telah
membatalkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) berisi penetapan status terlantar
lahan yang diberikan HGB-nya kepada suatu korporasi. Dalam pertimbangannya
majelis menyebutkan: KTUN in litis diterbitkan dengan menyalahi prosedur formal
tentang pentahapan inventarisasi tanah terlantar sebagaimana dipersyaratkan
Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010.
Sebaliknya, dalam
putusan Mahkamah Agung No. 137 PK/TUN/2016 tanggal 2 November 2016, majelis
hakim menolak permohonan PK yang diajukan suatu korporasi di Pontianak
Kalimantan Barat bukan saja karena novum yang diajukan tidak bersifat menentukan,
tetapi juga karena perusahaan tidak memenuhi persyaratan sebagai pemegang HGU
meskipun secara prosedural, BPN sudah memberikan tiga kali surat peringatan
agar memanfaatkan tanah terlantar di perkebunan sawit.
3.
Penggarap
telah mengusahakan lahan
Upaya hukum luar biasa
(peninjauan kembali) yang dilakukan PT Perkebunan Nusantara VIII (PTPN) dengan
mengajukan intervensi gugatan warga terhadap BPN Kabupaten Bogor kandas. BPN
menerbitkan HGU kepada perusahaan pada 2008 di atas lahan eks perkebunan teh.
Penggugat (dua orang) menggugat KTUN pemberian HGU itu karena sudah menggarap
lahan eks perkebunan teh itu pada 1998. Para penggugat sudah menggarap lahan
dengan cara menanam tanaman dan mendirikan bangunan di lokasi. Penguasaan para
penggugat juga didasarkan antara lain pada surat pernyataan pelepasan hak tanah
garapan di atas tanah negara eks perkebunan teh di Cisarua, Kabupaten Bogor.
Penggugat juga
mengajukan bukti pajak bumi dan bangunan. PTUN Bandung menepis eksepsi yang
diajukan BPN Bogor dan PT Perkebunan baik mengenai kompetensi pengadilan maupun
error in objecto. Majelis hakim membatalkan sertifikat HGU sepanjang mengenai
tanah garapan objek sengketa. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara menguatkan
putusan tersebut. Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi BPN dan PTPN.
Di tingkat PK, majelis
juga menolak permohonan PTPN. "Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat
dibenarkan, karena putusan judex juris sudah tepat dan benar serta tidak
terbukti adanya kekeliruan atau kekhilafan yang nyata". Alasannya, penggugat
sejak 1998 telah menggarap tanah yang telah diterbitkan sertifikat objek
sengketa dengan menanam pisang dan ubi kayu serta telah mendirikan bangunan
rumah dari kayu, sehingga tindakan tergugat yang menerbitkan sertifikat objek
sengketa pada 2008 telah mengandung cacat yuridis (Putusan MA No. 129
PK/TUN/2012 tanggal 12 Februari 2013).
4.
Alas
Hukum Penggarapan Tanah
Penggarapan yang
menggarap lahan yang dilekati HGU harus memiliki alas hukum yang kuat. Jika
tidak, gugatan baik melalui Pengadilan Negeri maupun PTUN tidak akan berhasil.
Putusan Mahkamah Agung No. 123 PK/TUN/2011 dapat dijadikan contoh. Seorang
penggugat, mengaku sudah menggarap lahan sejak 1963 semak belukar, yang oleh
PTPN II diklaim sebagai bagian dari HGU-nya. Pengadilan telah menyetujui
eksepsi yang diajukan PTPN.
Dalam jalur perdata,
pengadilan telah menolak gugatan penggugat. Lewat jalur PTUN, gugatan penggarap
juga dinyatakan tidak dapat diterima, dan permohonan PK-nya ditolak. Majelis PK
mempertimbangkan: Pemohon Peninjauan Kembali telah bersengketa di peradilan
umum selaku penggugat dan telah diputus dengan menolak gugatan penggugat
(pemohon PK) dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap, sehingga
secara yuridis Pemohon PK tidak mempunyai kepentingan yang dirugikan dengan
terbitnya surat keputusan objek sengketa. Jika dibaca putusan-putusan PTUN
dalam perkara ini, alas hukum bagi penggugat sebagai penggarap untuk mengajukan
gugatan menjadi bagian dari perhatian hakim.
Dikutip dari berbagai sumber

Ihwan Ritonga Warning Perusahaan Sawit Yang HGU nya Sudah Kadaluarsa

Masyarakat 8 Nagori di Simalungun Tolak Perpanjangan HGU Sipef

Begini Kesepakatan Sinergi Program Pencegahan Narkoba di Medan

Soal Mafia Tanah, ARS : Kita Butuh Regulasi Tegas, Komprehensif dan Berkeadilan!

Virgoun Last Child Ditangkap Polisi Terkait Dugaan Penyalahgunaan Narkoba!
