Hakim PN Medan Batalkan Status Tersangka Suami Aniaya Istri, Kuasa Hukum : Menzalimi Rasa Keadilan

Kitakini.news -Putusan hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Medan, Happy Efrata Tarigan, yang mengabulkan seluruh permohonan praperadilan Roland pada Rabu (20/8/2025), memantik reaksi keras dari kuasa hukum pelapor, Jonson Sibarani.
Baca Juga:
Menurut Jonson, keputusan yang membatalkan penetapan Roland
sebagai tersangka dalam kasus dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
terhadap istrinya, Sherly, dinilai melukai rasa keadilan.
"Bagaimana mungkin hakim menolak prinsip lex specialis derogat
legi generalis? Ini perkara khusus, bukan pidana umum. Saya akan laporkan hakim
ini ke Pengadilan Tinggi Medan dan Komisi Yudisial," tegasnya.
Jonson menjelaskan, dalam perkara KDRT, keterangan satu orang
saksi yang juga korban, ditambah satu alat bukti lain, sudah cukup untuk
menetapkan seseorang sebagai tersangka. Hal itu, kata dia, juga dikuatkan oleh
ahli hukum pidana yang dihadirkan pihak Polda Sumut saat persidangan.
Akan Buat Laporan ke
PT Medan dan Komisi Yudisial
Sebagai bentuk protes, Jonson memastikan akan membuat laporan
resmi ke Pengadilan Tinggi Medan selaku pengawas peradilan di Sumut, serta ke
Komisi Yudisial agar ikut memantau perkara yang ditangani Happy Efrata Tarigan.
"Ini menjadi pelajaran bagi penyidik. Bukan berarti perkara
berhenti. Polda Sumut bisa membuka kembali penyidikan secara profesional,
menetapkan lagi tersangka, dan mengganti tim penyidik bila perlu," tambahnya.
Pertimbangan Hakim
Dalam amar putusannya, Happy Efrata Tarigan menyatakan penetapan
Roland sebagai tersangka tidak sah. Hakim menilai, penyidik tiga kali
menerbitkan SPDP namun tidak pernah menyerahkan perkembangan penyidikan kepada
tersangka.
Selain itu, rekam medis yang dijadikan bukti dinilai tidak
memenuhi syarat sebagai alat bukti surat, sebab seharusnya berupa visum et
repertum (VER) dari dokter forensik.
Hakim pun memerintahkan agar status tersangka Roland dicabut.
Hingga berita ini diturunkan, Happy Efrata Tarigan belum memberikan tanggapan
atas rencana pelaporan dirinya.
Ahli Hukum: PKDRT Lex
Specialis
Dalam persidangan sebelumnya, dua ahli pidana—Dr. Alpi Sahri dan
Syarifuddin (P3AKB Sumut)—menegaskan bahwa tindak pidana KDRT termasuk lex
specialis, sehingga berbeda dengan perkara pidana umum.
Menurut mereka, sekalipun hanya ada keterangan korban ditambah
rekam medis, hal itu bisa dijadikan dasar bagi penyidik untuk menetapkan
tersangka.
"Yang penting bukan banyaknya saksi, tapi kesesuaian bukti.
Kualitas bukti lebih utama untuk membuat perkara menjadi terang," ujar Alpi
Sahri.
Syarifuddin menambahkan, perkara PKDRT seharusnya diproses sesuai undang-undang khusus yang berlaku. "Mana yang lebih tinggi, Perma tentang bukti permulaan tindak pidana atau Undang-Undang PKDRT?" tanyanya retoris di hadapan majelis.

Hendra Didakwa Rusak Mobil Korban Gegara Keranjang Sampah

Dugaan Rekayasa Kasus Menguat dari Kesaksian Berbeda Dua Polisi yang Tangkap Rahmadi

Aniaya Mandor Bus Sutra, Tiga Preman Terminal Dituntut 3,5 Tahun Penjara

Korupsi Kredit Macet, Mantan Pinca Bank Sumut Seirampah Dihukum 16 Bulan Penjara

Dua Koruptor Pengadaan Website se-Kabupaten Padanglawas Divonis Berbeda
