Senin, 30 Juni 2025

Keadilan Dari Akar, Suara Senator Untuk Konflik Agraria dan Hak Dasar di Sumut

Redaksi - Minggu, 29 Juni 2025 16:03 WIB
Keadilan Dari Akar, Suara Senator Untuk Konflik Agraria dan Hak Dasar di Sumut
(Dok. DPD RI
Anggota DPD RI Pdt Penrad Siagian

Kitakini.news - Di tanah Sumatera Utara, pohon-pohon tumbuh dengan sejarah. Hutan tidak sekadar deretan batang kayu, tapi ruang hidup tempat anak-anak adat belajar menamai bintang, tempat ibu-ibu menjerang air kehidupan, tempat para leluhur dikubur dengan doa dan hormat.

Baca Juga:

Namun di balik hijau yang tampak, ada luka yang menahun. Luka bernama konflik agraria. Luka yang tidak sembuh hanya dengan retorika, tapi dengan keberpihakan.

Konflik agraria bukan hanya perkara batas lahan, HGU, atau peta konsesi. Ia adalah pergulatan hidup masyarakat kecil melawan arus besar korporasi dan negara yang kadang abai.

Ketika tanah tempat berpijak dan mempertahankan hidup berubah status menjadi "milik negara" dan atau "hak guna usaha", maka warga menjadi tamu di rumah sendiri. Mereka diusir, ditangkap, bahkan nasibnya seolah terkubur dalam sunyi.

Sebagai senator dari Sumatera Utara, saya tidak hanya menyaksikan ini dari balik meja. Saya turun ke tanah yang retak, mendengar langsung suara-suara yang telah terlalu lama dibungkam.

Saya bertemu petani Simpang Gambus yang sejak 1960-an berjuang merebut kembali tanahnya dari perusahaan perkebunan raksasa. Saya menyaksikan masyarakat adat di Dolok Parmonangan dan Humbang Hasundutan yang dihimpit konsesi PT Toba Pulp Lestari, bahkan mengalami kriminalisasi karena mempertahankan hutan warisan leluhur.

Saya mencatat dan membawa semua itu ke ruang rapat negara. Tapi lebih dari itu, saya menulisnya sebagai sikap. Karena suara dari akar rumput tak boleh berhenti sebagai bisik. Ia harus tumbuh menjadi gema.

Angka-angka yang Berteriak

Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, pada 2023 terjadi 241 konflik agraria di Indonesia. Sumatera Utara menjadi salah satu episentrum. Empat titik panas masih berlangsung,

-Simpang Gambus (Batu Bara) vs. PT. Socfindo

-Gurila (Pematang Siantar) vs. PTPN IV

-Mandoge (Asahan) vs. Bakrie Sumatera Plantations

-Rambung Baru (Serdang Bedagai) vs. PT Nirvana

Di setiap lokasi, kita menemukan pola yang sama: tanah rakyat berubah jadi komoditas, sejarah lokal dihapus oleh peta digital, dan aparat lebih cepat datang untuk menertibkan warga daripada menjaga keselamatan masyarakat dalam sengketa.

Konflik-konflik ini adalah cermin ketimpangan struktural yang belum juga kita robohkan, paling tidak sedikit bergeser.

DPD Bukan Sekadar Kamar Kedua

DPD bukan pelengkap dalam demokrasi. Ia adalah jembatan yang menghubungkan keluhan rakyat dengan keputusan negara. Dalam kapasitas saya di Komite I dan Badan Akuntabilitas Publik (BAP), saya menjadikan konflik agraria sebagai prioritas advokasi.

Saya mendesak audit total terhadap PT TPL menolak usulan perpanjangan HGU Socfindo di Batu Bara, dan mendorong Kementerian ATR/BPN membuka ruang dialog yang jujur dan berpihak pada keadilan sejarah.

Saya tidak bekerja sendiri. Suara rakyat adalah bahan bakar yang membuat saya tetap melangkah. Dan saya yakin, ketika suara dari bawah didengarkan dengan sungguh, maka perubahan bukanlah hal mustahil.

Hak Dasar yang Dirampas

Konflik agraria tidak berdiri sendiri. Ia selalu dibarengi perampasan hak dasar: air bersih, listrik, sekolah, dan layanan kesehatan. Di banyak daerah konflik di Sumut, masyarakat bukan hanya kehilangan tanah, tapi kehilangan hak untuk hidup secara layak.

Saya masih ingat seorang ibu di Mandoge yang berkata kepada saya, "Kami bukan tidak mau bayar listrik, tapi tidak ada tiang. Kami bukan tidak mau sekolah, tapi sekolah kami digusur."

Ucapan itu menampar kita semua. Apa arti pembangunan kalau warga tak punya air untuk minum? Apa arti keadilan sosial kalau tanah nenek moyang mereka diklaim sebagai hutan negara?

Menuliskan Sejarah yang Baru

Tugas saya bukan hanya menyuarakan masalah, tetapi juga menyusun ulang prioritas kebijakan. Negara harus hadir bukan sebagai hakim netral, tapi sebagai pembela kebenaran. Reforma agraria saja tidak cukup, apalagi jika hanya menjadi jargon yang dingin, ia harus menjadi gerakan nyata dalam langkah revoutif yang mengembalikan tanah kepada mereka yang menggarapnya, yang memeliharanya, dan yang hidup darinya. Reforma Agraria di 80 tahun Indonesia sudah tidak cukup manjur, ia harus termanifestasi dalam sebuah revolusi agraria.

Menata ulang prinsip keagrariaan kita, mengatur tata ruang kita, agar terasa bagi rakyat bahwa 80 tahun merdeka ada sebuah asa untuk hidup yang makin hari makin layak, bukan menjauhnya mereka dari alat produksi mereka, yaitu tanah.

Saya percaya, keadilan tidak bisa datang dari atas saja. Ia harus ditanam di akar, disiram oleh kesabaran, dan dijaga dengan keberanian.

Membela Mereka yang Tidak Punya Mikrofon

Di tengah gelombang investasi dan pembangunan yang sering melupakan manusia, saya memilih berdiri di pihak yang kehilangan suara. Bukan karena mereka lemah, tapi karena negara terlalu lama menunda kehadirannya.

Saya tidak menjanjikan perubahan instan. Tapi saya berjanji untuk terus mengangkat suara rakyat Sumatera Utara petani, nelayan, masyarakat adat agar mereka tidak merasa sendirian.

Karena tugas senator bukan hanya membuat undang-undang, tapi menjaga hati nurani republik ini tetap menyala, membawa asa, membunyikan kesunyian yang dianggap barang biasa. (**)

Penulis: Anggota DPD RI Pdt Penrad Siagian

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Redaksi
SHARE:
Tags
Berita Terkait
Penrad Siagian Soroti Ketimpangan Pusat-Daerah, DPD Bukan Sekadar Simbol

Penrad Siagian Soroti Ketimpangan Pusat-Daerah, DPD Bukan Sekadar Simbol

Warga Dihantui Ancaman Konflik Satwa Liar Pasca Harimau Mangsa Sapi Warga di Sei Lepan

Warga Dihantui Ancaman Konflik Satwa Liar Pasca Harimau Mangsa Sapi Warga di Sei Lepan

Turnamen Futsal U-19 Nias Berakhir, Penrad Siagian Apresiasi Semangat Pemuda

Turnamen Futsal U-19 Nias Berakhir, Penrad Siagian Apresiasi Semangat Pemuda

Tak Manusiawi, Penrad Desak Sanksi Bagi Oknum Satpol PP Seret Tunanetra di Siantar

Tak Manusiawi, Penrad Desak Sanksi Bagi Oknum Satpol PP Seret Tunanetra di Siantar

Siap Kawal Pendidikan Sumut, Penrad Soroti Infrastruktur Sekolah dan Program 5 Hari Belajar

Siap Kawal Pendidikan Sumut, Penrad Soroti Infrastruktur Sekolah dan Program 5 Hari Belajar

Surya dan Penrad Bahas Aspirasi Terkait Tiga Undang Undang

Surya dan Penrad Bahas Aspirasi Terkait Tiga Undang Undang

Komentar
Berita Terbaru