Minggu, 21 Desember 2025

Negara Harus Akui Wilayah Adat Secara Hukum

Siti Amelia - Rabu, 10 Desember 2025 19:23 WIB
Negara Harus Akui Wilayah Adat Secara Hukum
amelia
Diskusi tematis bertajuk, ‘Peran Jurnalis dan Aktivis untuk Kampanye Perempuan Masyarakat Adat dalam Ketahanan terhadap Perubahan Iklim’, Selasa (9/12/2025) di Aula FISIP Universitas Sumatera Utara.

Kitakini.news -Masyarakat adat masih menunggu pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat oleh DPR RI. Hingga saat ini pengakuan negara terhadap masyarakat adat masih setengah hati. Diakui keberadaannya, nilai-nilai dan budayanya, namun tidak mengakui wilayah adat mereka dalam administrasi pemerintah.

Baca Juga:

Hal ini disampaikan Ketua AJI Medan, Tonggo Simangunsong, saat menjadi salah satu narasumber dalam diskusi tematis bertajuk, 'Peran Jurnalis dan Aktivis untuk Kampanye Perempuan Masyarakat Adat dalam Ketahanan terhadap Perubahan Iklim', Selasa (9/12/2025) di Aula FISIP Universitas Sumatera Utara. Menurutnya, tanpa adanya pengakuan negara terhadap wilayah adat, masyarakat adat akan selalu menghadapi konflik pertanahan seperti yang belakangan ini marak terjadi di sejumlah wilayah Indonesia.

"Di Sumatera Utara misalnya, sejumlah kelompok masyarakat adat berkonflik selama puluhan tahun dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang mengaku memiliki izin konsesi perkebunan ekaliptus di lahan hutan yang diklaim sebagai wilayah hutan adat. Konflik ini tidak pernah diselesaikan oleh pemerintah, sehingga kelompok masyarakat adat terusir dari wilayah adat yang sudah mereka diami secara turun temurun," ujar Tonggo.

Dalam diskusi yang menjadi rangkaian acara Festival Literasi Merdeka 2025 tersebut, hadir juga narasumber lainnya yakni Kordinator Divisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Nurni Sulaiman, dan Kordinator Advokasi dan Studi Sosial dari Bakumsu, Fatilda Hasibuan. Diskusi diampu oleh Diana Srimilana Saragih dari FJPI.

Menurut Nurni Sulaiman, masyarakat adat terutama perempuan, telah terus-menerus merasakan teror dan intimidasi yang mengganggu ruang hidup mereka sejak kehadiran korporasi di wilayah adat mereka. Nurni menyebut Desa Sihaporas di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, salah satunya yang berkonflik dengan PT TPL sejak lama. Dalam reportasenya di lokasi, penganiayaan dan pengusiran warga Sihaporas dari kawasan pertanian mereka oleh sekolompok pria bertopeng dan bertameng suruhan PT TPL pada akhir tahun 2024 dan 22 September 2025 lalu merupakan aksi kriminal yang sama sekali diabaikan oleh aparat hukum dan pemerintah daerah.

"Lahan pertanian yang sudah siap dipanen oleh warga Sihaporas itu dijaga oleh kelompok pria bertopeng suruhan PT TPL. Ibu-ibu juga tak luput dari aksi penganiayaan yang brutal, rumah dan kendaraan mereka dibakar, warga diusir dari lahan pertanian mereka, tapi hingga hari ini tak satupun dari para pelaku kekerasan itu yang ditangkap," ungkap Nurni.

Senada dengan Nurni dan Tonggo, Fatilda sangat berharap DPR RI segera mengesahkan UU Masyarakat Adat, agar keberadaan dan wilayah masyarakat adat bisa diakomodir secara hukum. Setidaknya, tambah Fatilda, DPRD Sumut segera mengesahkan Perda Masyarakat Adat yang sudah sejak 2016 diserahkan dokumennya.

"Keberpihakan pemerintah daerah terhadap konflik masyarakat adat dengan korporasi sangat timpang, lebih berpihak ke korporasi. Padahal, di daerah lain seperti di Kalimantan dan Papua, Perda Masyarakat Adat itu sudah ada dan berjalan saat ini, kenapa di Sumut tidak?" ujar Fatilda.

Fatilda juga memaparkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35 Tahun 2012 menyatakan bahwa hutan adat bukan merupakan hutan negara, melainkan hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat. Harusnya pemerintah memperhatikan petikan putusan MK ini sebelum memberikan konsesi kepada investor.

Ia bahkan sangat menyayangkan pemerintah daerah tutup mata terhadap kriminalisasi warga masyarakat adat yang memperjuangkan wilayah adat mereka, mengalami kekerasan dan perampasan ruang hidup. Pada 10 November 2025 lalu ribuan massa turun ke jalan untuk mendesak Gubernur Sumut, Bobby Nasution, untuk memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat agar PT TPL ditutup segera. Hal ini dikarenakan telah banyak kerugian ekonomi, sosial, dan politik yang dirasakan masyarakat terutama yang berkonflik langsung dengan PT TPL.

Deforestasi Mengundang Bencana Ekologis

Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat, mengalami bencana ekologi yang sangat parah akhir November lalu. Cuaca ekstrim dan kerusakan hutan menyebabkan lebih dari seribu warga meninggal dunia, jutaan warga mengungsi serta kehilangan tempat tinggal dan mata pencarian. Hal ini dituding akibat ketidakmampuan pemerintah Indonesia menjaga kelestarian hutan, sebaliknya secara ugal-ugalan memberikan ijin konsesi lahan hutan menjadi kawasan usaha ekstraktif, pertambangan dan perkebunan kepada investor.

Menurut Nurni Sulaiman, kerugian akibat bencana ekologis di Sumatra akhir tahun ini menjadi kerugian negara yang tidak sebanding dengan kontribusi korporasi yang merusak wilayah hutan. Perkebunan monokultur dan pertambangan di wilayah yang tadinya hutan, secara nyata memberikan dampak langsung terhadap banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di Sumatra.

"Ribuan nyawa melayang, jutaan warga mengungsi dan tidak tahu kapan kehidupan mereka akan pulih lagi, akibat keserakahan korporasi dan pemerintah yang mengabaikan analisis dampak lingkungan saat memberi konsesi lahan kepada investor," ujar Nurni.

Hal ini menjadi ironi, sebab ada kelompok masyarakat adat yang sejak zaman leluhur mereka dulu telah mempraktekkan kehidupan dan teknik pertanian selaras alam, menjaga kelestarian hutan, sebab hutan adalah sumber kehidupan dan ritual adat mereka. Namun di sisi lain pemerintah justru memberikan ijin terhadap perambahan hutan, deforestasi massif.

Hal senada juga disampaikan Fatilda. Praktik baik masyarakat adat dalam pertanian selaras alam ini sudah dilakukan lama dan secara turun temurun. Menurutnya, harusnya pemerintah bisa belajar dari bagaimana masyarakat adat mengelola pertanian dan menjaga kelestarian hutan. Misalnya di Kalimantan, ada kelompok adat yang menanam palawija di samping persawahan. Hal ini dilakukan agar hama, seperti tikus, memakan sayuran ketimbang padi. Jadi tidak perlu pestisida atau zat kimia beracun yang merusak kesuburan tanah untuk mengusir hama.

"Perubahan iklim mungkin belum dianggap sebagai ancaman serius oleh pemerintah Indonesia hari ini. Buktinya, di lahan hutan di Papua, Kalimantan, Sumatra, tetap jadi target deforestasi oleh Presiden Prabowo untuk ditanami pangan, sawit, dan pertambangan, kendati sudah ribuan warganya meninggal dunia akibat bencana ekologis di Sumatra," ujar Fatilda.

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Redaksi
SHARE:
Tags
Berita Terkait
Aqua Dwipayana Ajak Jurnalis Perempuan Bersatu Bangun Masa Depan yang Kuat

Aqua Dwipayana Ajak Jurnalis Perempuan Bersatu Bangun Masa Depan yang Kuat

Khairiah Lubis Terpilih Sebagai Ketua Umum FJPI dalam Kongres Virtual 2025

Khairiah Lubis Terpilih Sebagai Ketua Umum FJPI dalam Kongres Virtual 2025

Koperasi FJPI Sumut Semakin Nyata, Siti Amelia Gaet Dana Besar dari Mitra

Koperasi FJPI Sumut Semakin Nyata, Siti Amelia Gaet Dana Besar dari Mitra

Siti Amelia Siap Pimpin FJPI Sumut untuk Jurnalis Perempuan

Siti Amelia Siap Pimpin FJPI Sumut untuk Jurnalis Perempuan

Begini FJPI Sumut Rayakan HUT ke-17

Begini FJPI Sumut Rayakan HUT ke-17

Festival Literasi Merdeka Dorong Kreativitas Penulis Sumut

Festival Literasi Merdeka Dorong Kreativitas Penulis Sumut

Komentar
Berita Terbaru