SMI Desak Negara Bertindak Tegas Atasi Darurat Ekologis di Sumatera Utara
Kitakini.news - Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI) menyampaikan keprihatinan mendalam sekaligus kemarahan moral atas rangkaian banjir, longsor, dan bencana ekologis lain yang kembali melanda Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, serta kawasan Dataran Tinggi Karo–Pakpak Bharat-Langkat. Sejumlah daerah aliran sungai (DAS) strategis di Sumatera Utara juga mengalami kerusakan serius yang menunjukkan bahwa bencana tersebut bukan lagi sekadar fenomena alam.
Baca Juga:
"Kerusakan lingkungan yang memicu banjir dan longsor merupakan konsekuensi kebijakan perizinan yang longgar, lemahnya pengawasan, serta pembiaran aktivitas ekstraktif yang merambah kawasan hulu, area resapan air, lereng curam, dan zona lindung. Banjir yang merendam perkampungan, merusak lahan masyarakat, dan menelan korban jiwa dianggap sebagai akumulasi dari ketidakhadiran negara dalam mengendalikan pemanfaatan ruang dan sumber daya alam," ujar Direktur SMI, Kristian Simarmata kepada wartawan, Rabu 26 November 2025 di kantornya, Jalan Sei Sisirah Medan.
Dalam dua dekade terakhir, tutupan hutan di banyak wilayah Tapanuli menurun drastis. Berbagai konsesi perkebunan, pertambangan, dan galian C diterbitkan tanpa identifikasi dan verifikasi daya dukung lingkungan yang memadai, sehingga kawasan penyangga ekologis berubah fungsi menjadi area industri. Lereng curam yang seharusnya tetap berhutan justru mengalami penggundulan akibat penebangan legal melalui izin maupun penebangan liar yang tidak kunjung diberantas. Sungai kehilangan vegetasi penahan, dan perbukitan berubah menjadi wilayah rentan erosi.
SMI menilai bahwa krisis ekologis ini menunjukkan persoalan struktural yang lebih dalam mengenai bagaimana negara menjalankan kewenangannya sebagaimana diatur Pasal 33 UUD 1945. Konstitusi menegaskan bahwa kekayaan alam dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun dalam praktiknya, banyak izin justru mengutamakan kepentingan modal yang mengejar keuntungan jangka pendek, bukan keselamatan ekologis dan keberlanjutan kehidupan masyarakat.
Negara, menurut SMI, tidak boleh dipandang sekadar sebagai pemberi izin, tetapi sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung atas dampak dari setiap izin yang diterbitkannya. Setiap konsesi yang tidak melalui kajian lingkungan memadai, bertentangan dengan tata ruang, atau mengabaikan daya dukung ekologis merupakan bentuk kelalaian kebijakan. Ketika kebijakan tersebut melahirkan bencana, tanggung jawab tidak bisa dialihkan kepada alam atau hujan ekstrem, karena akar permasalahannya terletak pada lemahnya keberpihakan negara terhadap keselamatan rakyat.
Penegasan terhadap situasi ini juga disampaikan oleh pendiri SMI, Elfenda Ananda. Menurutnya, bencana yang berulang memperlihatkan tiga kegagalan nyata negara, yakni kegagalan mengendalikan alih fungsi lahan, kegagalan dalam pengawasan serta penegakan hukum terhadap penyimpangan izin dan aktivitas ilegal, serta kegagalan menata ruang berdasarkan fakta ekologis.
"Kegagalan tersebut bukan sekadar kelemahan administratif, melainkan bentuk pelanggaran terhadap mandat konstitusi untuk melindungi warga negara," tegas Elfenda.
SMI memandang kondisi Sumatera Utara saat ini berada dalam status darurat ekologis yang membutuhkan langkah luar biasa dan segera. Pemerintah diminta mengambil tindakan tegas, mulai dari penetapan status bencana nasional di wilayah terdampak hingga evaluasi total seluruh perizinan konsesi di sektor hutan, perkebunan, pertambangan, dan galian C. SMI menilai bahwa izin-izin yang terbukti merusak lingkungan, berada di kawasan lindung, atau tidak sesuai tata ruang harus dicabut. Setiap aktivitas ekstraktif yang memperparah kerusakan, termasuk pertambangan dan galian C di lereng curam, tepian sungai, dan kawasan hulu, harus dihentikan.
Penting bagi negara untuk menindak tegas seluruh aktor pelanggar hukum, termasuk korporasi, pemodal, dan pejabat yang terlibat dalam manipulasi atau pembiaran perizinan. Penegakan hukum, menurut SMI, tidak boleh berhenti pada pelaku lapangan, tetapi harus menyentuh pihak-pihak yang berada di balik rantai kerusakan lingkungan. Negara juga didesak meninjau kembali seluruh dokumen tata ruang di tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional agar berorientasi pada perlindungan kawasan hijau dan zona rawan bencana, bukan sekadar menyesuaikan ekspansi investasi.
Pemulihan ekologis secara terpadu, seperti reforestasi berbasis vegetasi lokal, rehabilitasi DAS, pemulihan hulu sungai, dan restorasi kawasan lindung, dinilai menjadi langkah mendesak. SMI juga menekankan pentingnya perlindungan masyarakat lokal dalam perencanaan pemanfaatan ruang, termasuk pengakuan hak dan jaminan sumber penghidupan mereka yang selama ini terancam oleh konsesi yang tidak terkendali.
SMI menegaskan bahwa negara harus kembali pada mandat konstitusinya—hadir untuk rakyat dan menjadikan keselamatan sebagai prioritas utama. Alam Sumatera Utara, menurut SMI, sedang memberikan peringatan keras. Bila negara tidak bertindak tegas dan objektif, bencana ekologis yang lebih besar hanya menunggu waktu. Krisis ini tidak dapat diselesaikan dengan retorika, melainkan dengan keberanian memperbaiki hubungan antara negara, pasar, dan rakyat. Selama kebijakan masih berpihak pada kepentingan ekonomi jangka pendek, Sumatera Utara akan terus menghadapi bencana serupa. Keadilan ekologis menjadi prasyarat keberlanjutan pembangunan dan negara wajib memulihkannya secara konsisten.
Suap Topan Cs, JPU KPK Tuntut Kirun 3 Tahun dan Reyhan 2,5 Tahun
Jatuh di Toilet sampai Pendarahan, Asmirandah Dilarikan ke Rumah Sakit
Hakim dan Jaksa "Kompak" Kejar Aliran Dana dari Terdakwa Kirun Pada Dicky
Peresmian Masjid Al-Musannif ke-57, Wali Kota Binjai Tekankan Nilai Persatuan Umat
Warga Medan Gelisah Akibat Live Music Coju Coffee, DPRD Sarankan Langkah Formal untuk Resolusi