Jumat, 28 November 2025

Hanya Untuk Dinas PUPR Sumut, Fee Proyek Tahun 2025 Sebesar 68 Miliar

Terungkap Dalam FGD di SMI Atas Pergeseran Anggaran
Abimanyu - Senin, 06 Oktober 2025 22:40 WIB
Hanya Untuk Dinas PUPR Sumut, Fee Proyek Tahun 2025 Sebesar 68 Miliar
Pengamat anggaran, Elfenda Ananda (baju batik) dan Akedimisi, Farid Wajdi (jas abu-abu) dua dari tiga pembicara pada FGD di SMI, Senin, 6 Oktober 2025. (Foto : Hari)
Kitakini.news - Pengamat anggaran mengaku dari fakta persidangan kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Topan Ginting Cs dalam proyek pembangunan jalan Hutaimbaru–Sipiongot dan Sipiongot–batas Labuhanbatu dengan terdakwa Direktur Utama PT Dalihan Natolu Group (DNG), Akhirun Piliang alias Kirun, serta Direktur PT Rona Mora, Rayhan Piliang, terungkap bahwa fee sebesar 5% untuk Dinas PUPR sangat menyakiti rakyat. Dari dua proyek dua jalan Propinsi itu sana, pajak rakyat diambil untuk diri sendiri atau kelompok melalui Dinas PUPR sebesar 68 Miliar lebih.

Hal ini menjadi pembicaraan hangat pada saat pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) di kantor Suluh Muda Inspirasi (SMI), pada Senin, 6 Oktober 2025, di Medan, dengan menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya perwakilan Seknas FITRA, pengamat anggaran, serta akademisi hukum.

Baca Juga:

Perwakilan Seknas FITRA, Siska Barimbing, dalam paparannya menjelaskan bahwa pergeseran anggaran merupakan hal yang lazim dalam tata kelola keuangan daerah, sepanjang dilakukan sesuai ketentuan hukum. Ia menegaskan dasar hukumnya tercantum dalam Pasal 154 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.

"Namun, pergeseran anggaran itu hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan penetapan DPRD dan maksimal satu kali dalam satu tahun anggaran," ujar Siska.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pergeseran juga dapat dilakukan melalui Perubahan Penjabaran APBD (Peraturan Kepala Daerah), sebagaimana diatur dalam Pasal 160 ayat (4) Permendagri 77/2020. Mekanisme ini memungkinkan adanya pergeseran lebih dari sekali dalam satu tahun anggaran, selama tidak mengubah substansi Peraturan Daerah (Perda) APBD. Pergeseran tersebut dapat terjadi karena sejumlah faktor, seperti perubahan antar kegiatan, antar unit kerja, atau penyesuaian terhadap pendapatan dan belanja daerah akibat dinamika ekonomi dan pemerintahan.

Siska menekankan bahwa perubahan penjabaran APBD tidak memerlukan persetujuan DPRD, tetapi wajib dilaporkan kepada pimpinan DPRD paling lambat satu bulan setelah ditetapkan. Ia juga menambahkan bahwa pergeseran anggaran dapat dilakukan demi efisiensi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 56 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam APBN.

"Hanya saja, dalam kasus ini, pergeseran anggaran dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, hanya dua hari. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar dan perlu dibuka 'kotak pandora'-nya untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi," tegas Siska.

Dari sudut pandang yang berbeda di forum yang sama, pengamat anggaran sekaligus Dewan Pendiri SMI, Elfenda Ananda, menilai bahwa pergeseran anggaran proyek jalan yang terseret OTT tersebut memang tampak mendesak. Namun, ia mempertanyakan dasar hukum yang digunakan dalam pengalihan dana tersebut.

Elfenda memaparkan bahwa dasar pergeseran dana bersumber dari surat Bupati Nias Barat Nomor 3002/644/2025 tertanggal 7 Maret 2025 tentang bantuan perbaikan infrastruktur akibat bencana alam. Menurutnya, pengeluaran tersebut seharusnya menggunakan pos belanja tidak terduga (BTT), bukan dialihkan ke pos Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Sumatera Utara.

"Seharusnya tidak perlu dilakukan pergeseran anggaran karena belanja tidak terduga memang disiapkan untuk kondisi bencana," tegas Elfenda.

Ia menambahkan, terdapat lonjakan signifikan dalam belanja jalan dan jaringan, meningkat hingga 104 persen, dari masa Penjabat Gubernur Fatoni (Pergub No. 6 Tahun 2025) ke masa Gubernur Bobby (Pergub No. 25 Tahun 2025). Nilai belanja tersebut naik dari Rp669 miliar menjadi Rp1,36 triliun.

Elfenda juga menyoroti kesaksian terdakwa di persidangan yang menyebut adanya "fee" sebesar 4 persen untuk Kepala Dinas PUPR dan 1 persen untuk Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dengan sandi "sudah tau kebiasaan lama." Menurutnya, praktik semacam itu sangat merugikan keuangan daerah.

"Jika setiap proyek di PUPR Sumut dikenakan potongan seperti itu, bisa dihitung berapa besar kerugian yang ditimbulkan terhadap keuangan daerah. Untuk kasus ini saja 5% dari 1,36 T itu saja sudah sekitar 68 miliar, baru dua proyek. Ini yang terungkap, yang tidak diungkapkan?" ujarnya dengan nada prihatin.

Ia juga menyoroti keterangan Ketua TAPD (Sekda) yang dinilai berbelit-belit selama persidangan. Elfenda menduga adanya hal yang disembunyikan oleh mantan Pj Sekda tersebut, sehingga perlu pendalaman lebih lanjut oleh aparat penegak hukum.

Sementara itu, dari sisi hukum, akademisi yang juga mantan Komisioner Komisi Yudisial (KY), Farid Wajdi, menyoroti sikap Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dinilai tidak menindaklanjuti perintah majelis hakim dalam persidangan kasus tersebut.

Menurut Farid, perintah majelis hakim untuk menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru terhadap beberapa pihak seperti Pj Sekda Efendi Pohan dan Yasir Ahmadi, yang dinilai tidak jujur dalam memberikan keterangan, seharusnya segera dijalankan oleh JPU.

"Apapun yang disampaikan majelis hakim di dalam persidangan merupakan perintah yang wajib dilaksanakan tanpa harus menunggu penegasan di akhir sidang atau surat perintah tertulis," tegasnya.

Farid menilai, kepatuhan terhadap perintah majelis hakim merupakan bagian penting dari integritas hukum dan menjadi tolok ukur penegakan keadilan yang berkeadaban. Ia pun menyerukan agar masyarakat ikut mengawal proses hukum kasus OTT ini.

"Kasus ini harus dibuka seterang-terangnya. Masyarakat perlu memberikan dukungan kepada majelis hakim agar seluruh pihak yang terlibat dapat diseret dan diadili secara adil serta transparan," tegasnya.

Terkait kode rahasia yang diungkapkan oleh terdakwa Kirun, seharusnya ini menjadi tolak ukur bagi penyidik, baik Kepolisian, Kejaksaan, maupun KPK untuk mulai menyelidiki seluruh dinas PUPR di Sumatera Utara, sekaligus memberikan pelajaran penting bagi seluruh dinas di wilayah pemerintahan Sumatera Utara, agar tidak lagi mencari keuntungan pribadi dari proyek pembangunan yang tujuannya untuk kepentingan masayarakat, menunjang perekonomian rakyat, tutup Farid.

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Redaksi
SHARE:
Tags
Berita Terkait
KPK Dakwa Topan Ginting Cs Terima Suap Pengaturan Proyek Jalan Rp165,8 Miliar

KPK Dakwa Topan Ginting Cs Terima Suap Pengaturan Proyek Jalan Rp165,8 Miliar

Kasus Suap Mantan Kadis PUPR Sumut Segera Disidang di Pengadilan Tipikor Medan

Kasus Suap Mantan Kadis PUPR Sumut Segera Disidang di Pengadilan Tipikor Medan

Pasca Rumah Hakim Terbakar, JPU KPK Akan Minta Pengawalan Ekstra

Pasca Rumah Hakim Terbakar, JPU KPK Akan Minta Pengawalan Ekstra

Rumah Hakim PN Medan Terbakar, Publik "Curiga" Terkait Kasus Korupsi yang Ditanganinya

Rumah Hakim PN Medan Terbakar, Publik "Curiga" Terkait Kasus Korupsi yang Ditanganinya

Nilai Suap Eks Kadis PUPR Sumut Mulyono Membengkak Jadi Rp1,175 Miliar

Nilai Suap Eks Kadis PUPR Sumut Mulyono Membengkak Jadi Rp1,175 Miliar

Mulyono Akhirnya Mengaku Terima Uang Suap

Mulyono Akhirnya Mengaku Terima Uang Suap

Komentar
Berita Terbaru