Ratusan Pekerja PT TPL "Serang" Warga Adat Sihaporas di Kawasan Danau Toba

Kitakini.news - Ratusan pekerja dan petugas keamanan PT Toba Pulp Lestari (TPL) diduga menyerang petani yang tengah berladang di kawasan Buntu Panaturan, Desa atau Nagori Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Senin (22/9/2025) sekitar pukul 08.40 WIB. Lokasi kejadian berada sekitar 2–3 kilometer dari bibir Danau Toba, tepatnya di Dolok Mauli atau Ujung Mauli dan Sipolha.
Baca Juga:
Para pekerja PT TPL datang mengenakan seragam serba hitam dengan perlengkapan menyerupai alat pengendali massa. Mereka membawa parang berbentuk bengkok, stik setrum, potongan kayu, tameng rotan, hingga helm berkaca pelindung wajah dan sepatu lars. Massa ini menumpang sekitar 10 kendaraan, terdiri dari tujuh truk dan tiga mobil pribadi.
Setibanya di lokasi, rombongan pekerja dan petugas keamanan perusahaan langsung merangsek ke arah masyarakat adat yang sedang berjaga di Posko Buntu Panaturan. Warga yang tergabung dalam Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita (Lamtoras) tak mampu menghindar. Bentrokan pun pecah. Sejumlah ibu-ibu yang berada di lokasi menjadi sasaran pemukulan. Dalam video yang dibagikan pengurus Lamtoras, terlihat pekerja TPL memukul warga hingga jatuh. Seorang perempuan berusia 34 tahun berinisial DL mengalami luka serius pada bagian wajah. Bibir kirinya robek dan berdarah akibat hantaman benda tumpul.
Tak hanya perempuan, beberapa warga laki-laki juga menjadi korban, di antaranya SA (63), PS (55), dan ES (44). Mereka mengalami luka akibat kekerasan fisik. Hingga berita ini diturunkan, pekerja dan petugas keamanan PT TPL masih terlihat berada di lokasi kejadian.
Tanah Adat Sihaporas
Masyarakat adat Sihaporas meyakini tanah yang mereka tempati saat ini merupakan warisan leluhur yang sudah dijaga selama 11 generasi. Leluhur mereka, Martua Boni Raja atau Ompu Mamontang Laut Ambarita, dipercaya sebagai pendiri kampung (mamukka huta) pada awal tahun 1800-an. Karena itu, masyarakat menegaskan bahwa mereka bukan penggarap atau pendatang baru, melainkan pewaris sah tanah adat.
Sejarah panjang keterikatan masyarakat adat Sihaporas dengan tanah tersebut tercatat sejak masa penjajahan Belanda. Pada tahun 1916, pemerintah kolonial bahkan menerbitkan Peta Enclave untuk lahan di kawasan ini, hampir tiga dekade sebelum Indonesia merdeka. Jejak perjuangan masyarakat adat juga tercermin dari adanya tujuh putra daerah yang pernah menjadi pejuang kemerdekaan dan tergabung dalam Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI).
Hingga kini, masyarakat Sihaporas tetap menjaga tradisi dan menjalankan prinsip tanah adat melalui berbagai ritual keagamaan dan kebudayaan. Ada tujuh ritual utama yang diwarisi turun-temurun dari leluhur. Pertama, Patarias Debata Mulajadi Nabolon, sebuah pesta adat untuk memuliakan Tuhan Yang Maha Kuasa, dilaksanakan setiap empat tahun sekali dengan iringan gondang selama tiga hari dua malam. Kedua, Raga-raga Na Bolak Parsilaonan, ritual penghormatan dan persembahan kepada leluhur Ompu Mamontang Laut Ambarita, juga digelar setiap empat tahun dengan iringan gondang.
Ritual ketiga adalah Mombang Boru Sipitu Suddut, doa persembahan kepada Raja Uti dan Raja Sisingamangaraja yang dilaksanakan selama satu hari. Keempat, Manganjab, doa khusus di ladang untuk memohon kesuburan tanaman sekaligus perlindungan dari hama dan penyakit, digelar setahun sekali. Kelima, Ulaon Habonaran i Partukkoan, doa melalui leluhur dan Raja Sisingamangaraja dengan harapan kampung dijauhkan dari mara bahaya.
Keenam, Pangulu Balang Parorot, ritual untuk berdoa kepada Sang Pencipta melalui penjaga kampung dan roh leluhur agar masyarakat diberi keselamatan. Ketujuh, Manjuluk, doa khusus yang dilakukan sebelum menanam di ladang, biasanya dipanjatkan di gubuk atau lokasi perhumaan.
Mangitua Ambarita, salah seorang tetua adat, menegaskan bahwa ritual-ritual tersebut merupakan identitas dan warisan leluhur yang harus tetap dilestarikan. Tradisi itu diyakini tidak hanya sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhan dan leluhur, tetapi juga perekat kebersamaan serta cara menjaga keseimbangan alam. Karena itu, masyarakat adat Sihaporas akan terus melaksanakan ritual adat sesuai waktu yang ditentukan setiap tahun.
Hingga berita ini diturunkan, kitakini.news telah berupaya untuk meminta konfirmasi kepada Humas PT TPL, namun yang bersangkutan belum memberikan keterangan resmi.

TPL Hargai Putusan Hakim, Langkah Persuasif Terhadap Sorbatua Siallagan Sudah Dilakukan

Ketua Masyarakat Adat Sorbatua Siallagan Divonis 2 Tahun Penjara

Penculikan 6 Warga Sihaporas Dibantah PT TPL

Aksi Warga Tanam Diri Tolak Kehadiran PT TPL di Angkola Timur

Pengunjukrasa Masyarakat Adat Tanah Batak Minta Penutupan Pabrik TPL ke DPRD Sumut
