DPR-RI Desak Polisi Teliti dan Telusuri Kembali Kasus Kematian Vina

Kitakini.news -Kepolisian Daerah Jawa Barat (Polda Jabar) diminta melakukan pemeriksaan secara terliti dan menelusuri kembali dugaan adanya peradilan sesat dalam kasus kematian Vina dan Eky di Cirebon 8 tahun silam. Sebab, pada kasus ini banyak kejanggalan yang muncul.
Baca Juga:
"Sebagai contoh ada 2 orang yang menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO) yang kemudian dihapus dari daftar dengan alasan nama fiktif dan asal sebut. Namun akhirnya dikoreksi jumlah tersangka pembunuhan yang tadinya 11, menjadi 9 orang," terang Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), Taufik Basari di Jakarta, Jumat (31/5/2024).
Seperti diketahui, 2 nama yang dihapus dari DPO adalah Dani (28) dan Andi (31), seusai Polisi menangkap Pegi Setiawan alias Perong yang disebut sebagai otak pembunuhan Vina dan Eky.
Merespon
hal itu, Taufik mengatakan kejanggalan lain yakni Polisi baru menangkap Pegi
setelah 8 tahun kasus berlalu dan mendapat atensi publik.
Taufik mempertanyakan upaya pihak Kepolisian, terlebih jika benar sesuai
pengakuan ibu Pegi, Polisi sudah pernah ke rumah Pegi dua hari setelah kejadian
(Tahun 2016), ketika itu dua motor Pegi dan adiknya sempat dibawa namun tidak ada
tindak lanjut.
"Ini menjadi janggal juga jika benar pada 2016 lalu ternyata pihak kepolisian
sudah pernah ke rumah Pegi. Jika saat itu memang ada bukti kuat kenapa tidak
langsung ditangkap, kenapa harus menunggu delapan tahun setelah kasus kembali
heboh?" tukasnya.
Kemudian hal lain yang perlu dikritisi, sambung Taufik, adalah pengakuan dari orang-orang yang sudah ditangkap dan disiksa.
"Sesuai yang dikutip beberapa media, terpidana Saka Tatal yang sudah dibebaskan
mengaku terpaksa mengakui terlibat pembunuhan Vina dan Eky karena tidak kuat
disiksa polisi. Ucil atau Rivaldi juga mengaku sebenarnya dia adalah pelaku
tindak kejahatan lain yang tidak ada hubungannya dengan kasus Vina," bebernya.
Taufik juga mengingatkan, Indonesia telah meratifikasi konvensi anti penyiksaan
pada 28 September 1998 melalui UU No. 5/1998. Sayangnya, kasus penyiksaan masih
terus saja berulang.
"Penuntut umum dan hakim di pengadilan juga harus memperhatikan bahwa
keterangan yang diberikan dengan penyiksaan tidak bernilai sebagai alat bukti.
Ini penting agar fakta yang terungkap di persidangan merupakan fakta yang valid
dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum," tegas Taufik.
Selain itu, Peraturan Kapolri No 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan
Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara
Republik Indonesia juga seharusnya bisa dipedomani sehingga praktik penyiksaan
dan peradilan sesat bisa dihindari.
Taufik juga mendorong agar Kejaksaan Tinggi Jawa Barat sebagai instansi yang
memiliki kewenangan pengendalian terhadap perkara (Dominus Litis) juga dapat
meneliti proses penuntutan yang dahulu dilakukan dalam kasus Vina dan Eky
sebagai tanggung jawab penanganan perkara.
"Tentu kita berharap jangan pernah ada lagi peradilan sesat terjadi di negeri
ini. Dari peradilan sesat pada kasus Sengkon-Karta di Bekasi, Lingah-Pacah di
Ketapang, Risman Lakoro-Rostin di Boalemo Gorontalo, Devit-Kemat di Jombang,
Andro-Benges di Cipulir, semestinya jadi pelajaran bagi kita untuk memperbaiki penegakan hukum," pungkasnya. (**)

Pengendali Sabu 100 Kg DPO BOB Gunakan Aplikasi Zangi Private Messanger

Pengendali Sabu 100 Kg DPO BOB Gunakan Aplikasi Zangi Private Messanger

Pengendali Sabu 100 Kg DPO BOB Gunakan Aplikasi Zangi Private Messanger

Kompolnas Dikritik DPR soal Penilaian Terburu-buru terhadap Kapolres Belawan

Tim Tabur Kejatisu Amankan DPO Terpidana Penipuan di Pematang Siantar
