IHSG Terkoreksi Akibat Profit Taking, Fenomena Alami Pasar Saham Indonesia
Kitakini.news - Pasar saham Indonesia kembali mengalami gejolak dalam sepekan terakhir. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat menembus level 8.100-an poin akhirnya berbalik arah dan menutup perdagangan di posisi 7.915,66 poin.
Baca Juga:
Koreksi sekitar 2,5 persen ini menandai akhir dari fase penguatan jangka pendek sejak awal bulan, namun di baliknya tersimpan fenomena klasik investasi: profit taking atau aksi ambil untung.
Kepala Kantor Bursa Efek Indonesia (BEI) Perwakilan Sumatera Utara (Sumut) Pintor Nasution menjelaskan profit taking bukanlah sinyal kehancuran pasar, melainkan napas alami dari pergerakan pasar yang sehat. Ketika harga saham naik signifikan, investor cenderung merealisasikan keuntungan dengan menjual sebagian atau seluruh kepemilikan saham.
"Hal ini mengubah keuntungan "di atas kertas" menjadi uang tunai nyata, meski dalam jangka pendek bisa menekan indeks," tuturnya.
Pada awal Oktober, sambung dia, saat IHSG melampaui 8.100 poin, aksi ini terlihat kuat di saham perbankan besar, material, dan industri dasar, meski sentimen ekonomi tetap positif.
Fenomena ini sering terjadi setelah euforia pasar, di mana investor ritel masuk karena takut ketinggalan momentum. Pelaku pasar berpengalaman kemudian menilai apakah harga sudah terlalu tinggi dibanding fundamental perusahaan.
Di Indonesia, profit taking biasanya muncul setelah rilis data ekonomi kuat atau rekor baru IHSG. Ini menunjukkan kedewasaan pasar, di mana koreksi mencegah gelembung harga (bubble) dan memulihkan keseimbangan permintaan-penawaran.
Bagi investor, koreksi ini bukan waktu panik, melainkan fase penyesuaian. Pasar saham seperti manusia yang perlu istirahat untuk berlari lebih jauh. Dengan memahami siklus ini, investor bisa melihat peluang jangka panjang, seperti yang ditekankan Warren Buffett: pasar jangka pendek adalah "mesin voting", sementara jangka panjang adalah "mesin penimbang nilai".