Gelombang Panas Landa Eropa, Menara Eiffel Tutup

Melansir berbagai sumber, Rabu (2/7/2025), musim panas yang biasanya menjadi puncak kejayaan pariwisata Eropa kini berubah menjadi mimpi buruk.

Baca Juga:

• Gegara Ikan Panggang, Hotman Paris Masuk Rumah Sakit
• Kylian Mbappé Raih Sepatu Emas Eropa 2024/2025 dalam Musim Debutnya Bersama Real Madrid
• 6 Negara di Eropa dan Sekitarnya yang Bebas Visa untuk WNI, Cocok untuk Liburan Mendadak!

Gelombang panas ekstrem ini tidak hanya memecahkan rekor suhu, tetapi juga menghantam langsung sektor pariwisata.

"Ini bukan sekadar cuaca buruk, tapi bukti nyata bahwa perubahan iklim sedang mengubah wajah industri pariwisata dunia," ujar seorang pakar iklim dari Paris, Rabu (2/7/2025).

Otoritas pengelola Menara Eiffel menyampaikan permintaan maaf kepada para turis dan mengimbau mereka untuk melindungi diri dari panas dan tetap terhidrasi.

Penutupan ini berlangsung Selasa dan Rabu, 1 dan 2 Juli 2025, di tengah suhu menyengat yang melanda ibu kota Prancis itu.

Sejumlah warga Paris memilih mengademkan diri di air mancur di halaman Menara Eiffel karena gelombang panas yang melanda Eropa pada Selasa, 1 Juli 2025.

Situasi ini menunjukkan bahwa pariwisata tidak kebal terhadap krisis iklim. Landmark seperti Menara Eiffel, yang biasanya menjadi daya tarik utama, kini juga harus mempertimbangkan faktor keselamatan dan suhu ekstrem dalam operasionalnya.

Sebagai informasi, suhu yang mencapai 46 derajat Celcius di Spanyol dan Portugal, serta 100 derajat Fahrenheit (sekitar 38 derajat Celcius) di beberapa wilayah Prancis, memang membuat banyak wisatawan membatalkan atau menyesuaikan rencana liburan mereka.

Pun di Inggris, gelombang panas kedua dalam sebulan menambah tekanan pada sektor pariwisata lokal yang belum pulih sepenuhnya dari pandemi.

Kebakaran Luas

Gelombang panas kali ini dipicu oleh dua elemen utama: pemanasan luar biasa di Laut Mediterania — hingga 9 derajat Celcius di atas normal — dan fenomena "heat dome", yakni sistem tekanan tinggi yang menjebak panas di atmosfer.

Keduanya saling memperkuat. Laut yang panas mempertinggi kelembaban udara, sementara udara panas dari Afrika memperparah kondisi di darat — menciptakan siklus berbahaya yang semakin sulit dikendalikan.