Demokrasi Dalam Keranda

Demokrasi yang diterapkan di Indonesia adalah Demokrasi Pancasila. Menurut Soekarno, di Indonesia tidak tepat untuk diberlakukan demokrasi liberal maupun demokrasi parlementer. Soekarno berpendapat bahwa yang tepat diterapkan di Indonesia adalah Demokrasi Pancasila sebuah demokrasi terpimpin, yakni demokrasi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong-royong antara semua kekuatan Nasional. Soekarno menyebutkan bahwa Demokasi terpimpin adalah permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan, bukan oleh perdebatan dan penyiasatan yang diakhiri dengan pemungutan suara.
Baca Juga:
Selain itu, Sokarno juga menekankan prinpsip gotong-royong dan msuyawarah mufakat dalam suasana kekeluargaan dalam Demokrasi Terpimpin, sehingga demokrasi di Indonesia, tidak mengenal opisisi.
Menurut Muhammad Hatta (dalam Agustam, 2011:82), demokrasi Panacasila adalah demokrasi yang berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong yang ditujukan pada kesejahteraan rakyat, serta mengadung unsur-unsur berkesadaran religious, berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indoneia dan berkesinambungan. Secara umum, demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Dalam Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat 3 prinsip demokrasi Pancasila, yakni kebebasan atau persamaan, kedaulatan rakyat dan pemerintahan yang terbuka dan bertanggung jawab.
Masih banyak lagi para ahli berpendapat terkait Demokrasi Pancasila, namun pada prinsipnya hamper sama, hanya saja dengan narasi yang berbeda-beda.
Menyimak dasar demokrasi yang dilahirkan oleh para pendiri bangsa, ada cita-cita luhur yang ingin dicapai agar demokrasi tidak melahirkan perpecahan, tidak menimbulkan konflik sehingga Indonesia tetap dalam kerangka Negara Republik yang utuh dan tidak terpecah-pecah.
Waktu-demi waktu, untuk mewujudkan Demokrasi Pancasila terus dilakukan dengan mengawal agar tujuan dan cita-cita pendiri bangsa, tidak melenceng, dilahirkan Undang-Undang dan peraturan Pemilihan Umum (Pemilu) agar bisa berlangsung jujur dan adil.
Berbagai pendapat menyebutkan Demokrasi Pancasila di Indonesia, semakin hari, bukannya semakin maju dan sempurna, bahkan sebaliknya, semakin terpuruk ke lembah yang terdalam. Tidak sedikit ahli dan pengamat yang menyebutkan Demokrasi di Indonesia, jauh melenceng dari cita-cita pendiri bangsa denga berbagai istilah. Ada yang menyebut "Demokrasi Dipersimpangan Jalan", ada pula menyebutkan "Demokrasi Dititik Nadir"serta banyak istilah lainnya yang pada intinya menggambarkan kegusaran dan kekecewaan atas praktek demokrasi pada Pemilu, baik Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, hingga Pemilu Kepala Daerah serentak 2024 yang baru saja berlangsung.
Praktek-praktek politik uang sudah terjadi pada pemilihan Kepala Daerah saat masih ditangan legislatif. Semakin parah pasca 2024. Praktek money politik mulai merambah pada pemilu legislative, memburuk pada Pileg dan Pilpres 2019, dan terus memburuk pada Pileg dan Pilpres 2024, serta terburuk pada Pilkada 2024 yang baru berlangsung.
Jika sebelumnya masih ada rasa malu dalam melakukan kecurangan, namun pada Pileg dan Pilres 2024, rasa malu hilang karena diberi "hadiah", bahkan pada Pilkada 2024, sangat terang benderang dilakukan karena eksekutor ingin mendapatkan pengajuan sehingga "hadiah" tepat sasaran.
Jika sebelumnya diistilahkan "Demokrasi sudah mati", kini demokrasi yang telah mati itu, sudah berada di dalam keranda, tinggal dikuburkan saja. Demokrasi di Indonesia sangat jauh dari Demokrasi Pancasila yang jujur dan adil berlandaskan hikmat kebijaksanaan, bukan penyesatan. Demokrasi di Indonesia saat ini juga bukan bentuk demokrasi liberal, atau demokrasi parlementer sehingga tidak sedikit pengamat politik menyebut demokrasi di Indonesia saat ini, sangat bar-bar, atau penulis sendiri dalam konteks ini menyebutnya sebagai demokrasi ugal-ugalan. Ada aturan namun pelaksana aturan malah ikut melakukan pelanggaran.
Titik ini telah menjadikan proses demokrasi sepanjang kemerdekaan, telah berada dibawah titik nol. Semua melakukannya dalam keadaan sadar, meski beberapa saat kemudian sadar, namun tidak ada penyesalan dan ketika muncul momentum berikutnya, tetap saja melakukan kesalahan yang sama.
Parah. Jika ini tidak segera diperbaiki, maka orang baik, pintar serta bijak, tidak akan pernah bisa memimpin karena tidak punya uang dan tidak berada dalam lingkaran kekuasaan.
Kepemimpinan akan jatuh pada orang-orang yang punya tujuan sendiri, bukan untuk para pembayaran pajak. Lambat laun, perpecahan akan terjadi dan bahkan sudah didepan mata. Perlawanan masyarakat akan menjadi jawabannya, namun dalam sebuah pertempuran, semua akan rugi. Seperti pepatah, "kalah jadi abu,.menang jadi arang". Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju karena belum pada tahap kebaikan apa yang harus dilanjutkan dan keburukan apa yang musti dihentikan, sehingga tidak berhenti ditemoat, apalagi mundur.
Masih ada waktu, itupun tergantung bagaimana niat dan kesungguhan semua pihak untuk memperbaiki.
Penulis :
M.Harizal S.H, mantan Koordinator Forsolima Medan dan deklarator Front Pemuda Pejuang Indonesia (FPPI)

Pemprovsu Dorong Terwujudnya Ekosistem Demokrasi Sehat

Nasdem Desak Usut Dugaan Politik Uang Menjelang PSU di Siak

Sukses Pilkada, KPU Binjai Beri Penghargaan ke Lapas Kelas IIA

KPU Beri Penghargaan ke Polres Padangsidimpuan atas Kolaborasi pada Pilkada 2024

Koni Siantar Apresiasi Kerja Cepat Wesly Silalahi Benahi Stadion Sangnawaluh
