Gugatan Penguasaan Lahan Senilai Rp642 M ke PT JBI
Kitakini.news - Sidang gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) yang diajukan oleh Lindawati dan Afrizal Amris menyangkut penguasaan lahan seluas 13 hektar senilai Rp642 miliar lebih yang diduga dilakukan PT Jaya Beton Indonesia (JBI) terus berlanjut.
Baca Juga:
Dalam sidang kali ini Kuasa hukum penggugat Bambang H Samosir, Riky Poltak Daniel Sihombing, Dwi Ngai Sinaga, dan Benri menghadirkan seorang ahli agraria, Prof. DR. M Yamin Lubis.
Pada keterangannya di persidangan, Prof Muhammad Yamin mengatakan bahwasanya terhadap hak kepemilikan penggugat lebih kuat sebab yang telah lebih dahulu hadir dibandingkan pihak tergugat atau PT JBI.
Sertifikat yang dimiliki oleh PT Jaya Beton Indonesia, menurut ahli, bukanlah bukti mutlak dari kepemilikan sebuah tanah. Namun, hak kepemilikan itu merupakan siapa yang pertama kali hadir untuk menguasai tanah tersebut secara legal.
"Hak kepemilikan itu berdasarkan siapa yang pertama kali menguasai tanah tersebut secara legal. Siapa yang memiliki bukti paling sah, itulah yang berhak. Sertifikat tanah hanya merupakan alat bukti kuat, tetapi bukan bukti mutlak kepemilikan," kata Prof Yamin, Selasa (3/12/2024).
"Selagi penggugat mempunyai bukti, kapan saja bisa digugat secara perdata. Siapa saja yang menggangu kepemilikan, sementara penggugat bisa membuktikan penggugat pemilik itu boleh diajukan ke pengadilan, keberatan atas milik orang lain yang ada di situ," sambungnya.
Berangkat dari penjelasan tersebut, kata Prof Yamin, maka nantinya harusnya majelis hakim harus memutuskan yang adil jika melihat bukti yang sudah diajukan baik tergugat ataupun penggugat.
"Ini merupakan ranah PN, kalau keadilan di PN itu dilacurkan istilahnya nya dengan kompromi sesuatu itu posisi pengadilan itu akan berbahaya kedepan. Mangkanya silahkan dia lurus di kewenangan itu di keperdataan itu," ucap Prof Yamin.
Menanggapi hal tersebut, tim kuasa hukum penggugat yang terdiri dari Bambang H Samosir, Riky Poltak Daniel Sihombing, Dwi Ngai Sinaga, dan Benri mengatakan, berdasarkan penjelasan dari ahli yang dihadirkan penggugat bahwasanya perbuatan yang dilakukan oleh tergugat merupakan perbuatan melawan hukum.
Kemudian, tergugat juga tidak mempunyai hak atas objek tanah yang saat ini diperkarakan. "Baik, terkait hasil sidang yang sudah dihadiri oleh dua saksi ahli. Pertama prof Tan Kamelo menyatakan perbuatan ini adalah perbuatan melawan hukum. Dan dari. Keterangan beliau sudah sangat jelas.
Unsur dari perbuatan melawan hukum sudah terpenuhi," ucap Bambang Samosir.
"Yang kedua Prof Yamin, juga sudah jelas menyatakan kepemilikan ini sudah sah yang memiliki itu penggugat. Jadi terhadap pihak tergugat tidak punya hak milik terhadap tanah yang sekarang dalam objek perkara," sambungnya.
Bambang juga mengkritisi terhadap saksi yang dihadirkan oleh PT Jaya Beton, yang dimana, pihaknya menilai saksi tersebut tidak mengetahui asal dan usul tanah tersebut.
"Kemudian, yang mau saya kritisi adalah, yang paling penting itu ada dua orang saksi yang diberikan oleh tergugat. Yang dua duanya ini konyol yang tidak mengetahui asal usul tanah. Hanya penduduk setempat. Kedua, itu saksi nya bekas orang yang bekerja untuk Jaya Beton, GM posisi terakhir nya. Dia juga gak tahu asal-usul tanah itu, dan hanya tahu ini HGB," ujar Bambang.
Hal senada juga disampaikan oleh Dwi Ngai Sinaga, ia juga meminta kepada majelis hakim agar dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan.
"Berbicara pengadilan negeri berbicara fakta dan bukti, saksi. Kita nilainya bisa dilihat. Bukti kita surat kita ajukan, mereka juga menghadirkan saksi yang hanya azas manfaat saja kepada Jaya Beton. Jadi kita minta kepada PN Medan, kembalikan kepercayaan masyarakat mengingat ini juga pernah digugat juga," tegas Dwi Ngai.
Kemudian, Benri juga menyampaikan hal yang serupa seperti yang diutarakan oleh Bambang Samosir dan Dwi Ngai Sinaga. Pihaknya sangat berharap kepada majelis hakim agar bisa melihat perkara ini dengan objektif dan sesuai dengan keilmuan.
"Jadi kita harap dari keterangan dua ahli ini kita harapkan pada majelis hakim. Supaya melihat ini dengan benar dan objektif memutuskan perkara ini sesuai dengan keilmuan dan takut akan Tuhan, itu harapan untuk kita," tutup Benri.